Wudhu' adalah sebuah ibadah ritual untuk mensucikan diri dari hadats kecil dengan menggunakan media air. Yaitu dengan cara membasuh atau mengusap beberapa bagian anggota tubuh menggunakan air sambil berniat di dalam hati dan dilakukan sebagai sebuah ritual khas atau peribadatan. Bukan sekedar bertujuan untuk membersihkan secara pisik atas kotoran, melainkan sebuah pola ibadah yang telah ditetapkan tata aturannya lewat wahyu dari langit dari Allah SWT.
I. Hukum Wudhu
Wudhu` itu hukumnya bisa wajib dan bisa sunnah, tergantung konteks untuk apa kita berwudhu`.
1. Hukumnya Fardhu / Wajib
Hukum wudhu` menjadi fardhu atau wajib manakala seseorang akan melakukan hal-hal berikut ini :
a. Melakukan Shalat
Baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah. Dalilnya adalah ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
إذا قمتم إلى الصلاة �?اغسلوا وجوهكموأيديكم إلى المرا�?ق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki... (QS. Al-Maidah : 6)
Juga hadits Rasulullah SAW berikut ini :
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لا صلاة لمن لا وضوء له ولا وضوء لمن لا يذكر اسم الله عليه . رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه
Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda,"Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu'. Dan tidak ada wudhu' bagi yang tidak menyebut nama Allah. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Shalat kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu`) (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Untuk Menyentuh Mushaf Al-Quran Al-Kariem
Meskipun tulisan ayat Al-Quran Al-Kariem itu hanya ditulis di atas kertas biasa atau di dinding atau ditulis di pada uang kertas. Ini merupakan pendapat jumhur ulama yang didasarkan kepada ayat Al-Quran Al-Kariem.
لا يمسه إلا المطهرون
Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci. (QS. Al-Waqi`ah : 79)
Serta hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Tidaklah menyentuh Al-Quran Al-Kariem kecuali orang yang suci.(HR. Ad-Daruquhtny : hadits dhaif namun Ibnu Hajar mengatakan: Laa ba`sa bihi)
c. Tawaf Di Ka`bah
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwudhu` untuk tawaf di ka`bah adalah fardhu. Kecuali Al-Hanafiyah. Hal itu didasari oleh hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tawaf di Ka`bah itu adalah shalat, kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat tawaf. Siapa yang mau bicara saat tawaf, maka bicaralah yang baik-baik.(HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Tirmizy)
2. Hukumnya Sunnah
Sedangkan yang bersifat sunnah adalah bila akan mengerjakan hal-hal berikut ini :
a. Mengulangi wudhu` untuk tiap shalat
Hal itu didasarkan atas hadits Rasulullah SAW yang menyunnahkan setiap akan shalat untuk memperbaharui wudhu` meskipun belum batal wudhu`nya. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Seandainya tidak memberatkan ummatku, pastilah aku akan perintahkan untuk berwudhu pada tiap mau shalat. Dan wudhu itu dengan bersiwak. (HR. Ahmad dengan isnad yang shahih)
Selain itu disunnah bagi tiap muslim untuk selalu tampil dalam keadaan berwudhu` pada setiap kondisinya, bila memungkinkan. Ini bukan keharusan melainkah sunnah yang baik untuk diamalkan.
ولن يحا�?ظ على الوضوء إلا المؤمن
Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tidaklah menjaga wudhu` kecuali orang yang beriman`. (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, Ahmad dan Al-Baihaqi)
b. Menyentuh Kitab-kitab Syar`iyah
Seperti kitab tafsir, hadits, aqidah, fiqih dan lainnya. Namun bila di dalamnya lebih dominan ayat Al-Quran Al-Kariem, maka hukumnya menjadi wajib. (lihat Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 hal 362).
c. Ketika Akan Tidur
Disunnahkan untuk berwuhu ketika akan tidur, sehingga seorang muslim tidur dalam keadaan suci. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Al-Barra` bin Azib bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila kamu naik ranjang untuk tidur, maka berwudhu`lah sebagaimana kamu berwudhu` untuk shalat. Dan tidurlah dengan posisi di atas sisi kananmu . . (HR. Bukhari dan Tirmizy).
d. Sebelum Mandi Janabah
Sebelum mandi janabat disunnahkan untuk berwudhu` terlebih dahulu. Demikian juga disunnahkan berwudhu` bila seorang yang dalam keaaan junub mau makan, minum, tidur atau mengulangi berjimak lagi. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila dalam keadaan junub dan ingin makan atau tidur, beliau berwudhu` terlebih dahulu. (HR. Ahmad dan Muslim)
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila ingin tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu` terlebih dahulu seperti wudhu` untuk shalat. (HR. Jamaah)
Dan dasar tentang sunnahnya berwuhdu bagi suami istri yang ingin mengulangi hubungan seksual adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Said al-Khudhri bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila kamu berhubungan seksual dengan istrimu dan ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah berwuhdu terlebih dahulu.(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
e. Ketika Marah
Untuk meredakan marah, ada dalil perintah dari Rasulullah SAW untuk meredakannya dengan membasuh muka dan berwudhu`.
Bila kamu marah, hendaklah kamu berwudhu`. (HR. Ahmad dalam musnadnya)
f. etika Membaca Al-Quran
Hukum berwudhu ketika membaca Al-Quran Al-Kariem adalah sunnah, bukan wajib. Berbeda dengan menyentuh mushaf menurut jumhur. Demikian juga hukumnya sunnah bila akan membaca hadits Rasulullah SAW serta membaca kitab-kitab syariah.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika mengimla`kan pelajaran hadits kepada murid-muridnya, beliau selalu berwudhu` terlebih dahulu sebagai takzim kepada hadits Rasulullah SAW.
g. Ketika Melantunkan Azan, Iqamat Khutbah dan Ziarah Ke Makam Nabi SAW
II. Rukun Wudhu`
Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.
• 4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran
• 7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.
• 6 (enam) rukun menurut As-Syafi`iyah menambahinya dengan niat dan tertib yaitu kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib
• 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu`.
1. Niat
Niat wudhu' adalah ketetapan di dalam hati seseorang untuk melakukan serangkaian ritual yang bernama wudhu' sesuai dengan apa yang ajarkan oleh Rasulullah SAW dengan maksud ibadah. Sehingga niat ini membedakan antara seorang yang sedang memperagakan wudhu' dengan orang yang sedang melakukan wudhu'. Kalau sekedar memperagakan, tidak ada niat untuk melakukannya sebagai ritual ibadah. Sebaliknya, ketika seorang berwudhu', dia harus memastikan di dalam hatinya bahwa yang sedang dilakukannya ini adalah ritual ibadah berdasar petunjuk nabi SAW untuk tujuan tertentu.
2. Membasuh Wajah
Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat tumbuhnya rambut (manabit asy-sya'ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan hingga batas telinga kiri.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku
Secara jelas disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke siku. Dan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa siku harus ikut dibasahi. Sebab kata `Ilaa` dalam ayat itu adalah Lintihail Ghayah. Selain itu karena yang disebut denga tangan adalah termasuk juga sikunya.
Selain itu juga diwajibkan untuk membahasi sela-sela jari dan juga apa yang ada dibalik kuku jari. Para ualma juga mengharuskan untuk menghapus kotoran yang ada di kuku bila dikhawatirkan akan menghalangi sampainya air.
Jumhur ulama juga mewajibkan untuk menggerak-gerakkan cincin bila seorang memakai cincin ketika berwudhu, agar air bisa sampai ke sela-sela cincin dan jari. Namun Al-Malikiyah tidak mengharuskan hal itu.
4. Mengusap kepala
Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan ke bagian yang diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air. Sedangkan yang disebut kepala adalah mulai dari batas tumbuhnya rambut di bagian depan / dahi ke arah belakang hingga ke bagian belakang kepala.
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap tidak semua bagian kepala, melainkan sekadar ? dari kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang diwajib diusap pada bagian kepala adalah seluruh bagian kepala. Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun depannya. Sebab menurut mereka kedua telinga itu bagian dari kepala juga.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : Dua telinga itu bagian dari kepala. Namun yang wajib hanya sekali saja, tidak tiga kali.
Adapun Asy-syafi`iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah sebagian dari kepala, meskipun hanya satu rambut saja. Dalil yang digunakan beliau adalah hadits Al-Mughirah : Bahwa Rasulullah SAW ketika berwudhu` mengusap ubun-ubunnya dan imamahnya (sorban yang melingkari kepala).
5. Mencuci kaki hingga mata kaki.
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah membasahi mata kakinya itu juga. Sebagaimana dalam masalah membahasi siku tangan. Secara khusus Rasulullah SAW mengatakan tentang orang yang tidak membasahi kedua mata kakinya dengan sebutan celaka. Celakalah kedua mata kaki dari neraka.
6. Tartib
Yang dimaksud dengan tartib adalah mensucikan anggota wudhu secara berurutan mulai dari yang awal hingga yang akhir. Maka membasahi anggota wudhu secara acak akan menyalawi aturan wudhu. Urutannya adaalh sebagaimana yang disebutan dalam nash Quran, yaitu wajah, tangan, kepala dan kaki.
Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak merupakan bagian dari fardhu wudhu`, melainkan hanya sunnah muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutan di dalam Al-Quran, bagi mereka tidaklah mengisyaratkan kewajiban urut-urutan. Sebab kata penghubunganya bukan Tsumma yang bermakna kemudian atau setelah itu.
Selain itu ada dalil dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan :
Aku tidak peduli dari mana aku mulai. (HR. Ad-Daruquthuny)
Juga dari Ibnu Abbas :
Tidak mengapa memulai dengan dua kaki sebelum kedua tangan. (HR. Ad-Daruquthuny)
Namun As-Syafi`i dan Al-hanabilah bersikeras mengatakan bahwa tertib urutan anggota yang dibasuh merupakan bagian dari fardhu dalam wudhu`. Sebab demikianlah selalu datangnya perintah dan contoh praktek wudhu`nya Rasulullah SAW. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berwudhu` dengan terbalik-balik urutannya. Dan membasuh anggota dengan cara sekaligus semua dibasahi tidak dianggap syah.
7. Al-Muwalat / Tidak Terputus
Maksudnya adalah tidak adanya jeda yang lama ketika berpindah dari membasuh satu anggota wudhu` ke anggota wudhu` yang lainnya. Ukurannya menurut para ulama adalah selama belum sampai mengering air wudhu`nya itu.
Kasus ini bisa terjadi manakala seseorang berwudhu lalu ternyata setelah selesai wudhu`nya, barulah dia tersadar masih ada bagian yang belum sepenuhnya basah oleh air wudhu. Maka menurut yang mewajibkan al-muwalat ini, tidak syah bila hanya membasuh bagian yang belum sempat terbasahkan. Sebaliknya, bagi yang tidak mewajibkannya, hal itu bisa saja terjadi.
8. Ad-Dalk
Yang dimaksud dengan ad-dalk adalah mengosokkan tangan ke atas anggota wudhu setelah dibasahi dengan air dan sebelum sempat kering. Hal ini tidak menjadi kewajiban menurut jumhur ulama, namun khusus Al-Malikiyah mewajibkannya.
Sebab sekedar menguyurkan air ke atas anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti yang dimaksud dalam Al-Quran.
III. Sunnah-sunnah Wudhu`
1. Mencuci kedua tangan hingga pergelangan tangan sebelum mencelupkan tangan ke dalam wadah air.
2. Membaca basmalah sebelum berwudhu`
3. Berkumur dan memasukkan air ke hidung Bersiwak atau membersihkan gigi
4. Meresapkan air ke jenggot yang tebal dan jari
5. Membasuh tiga kali tiga kali
6. Membasahi seluruh kepala dengan air
7. Membasuh dua telinga luar dan dalam dengan air yang baru
8. Mendahulukan anggota yang kanan dari yang kiri
IV. Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu'
Hal-hal yang bisa membatalkan wudhu' ada 5 perkara.
1. Keluarnya benda apapun lewat dua lubang qubul atau dubur.
Baik berupa benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainny. apun juga benda gas seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur, membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal.
2. Tidur yang bukan dalam posisi tamakkun (tetap) di atas bumi.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
من نام �?ليتوضأ رواه أبو داود وابن ماجة.
Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu' (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri, tidak termasuk yang membatalkan wudhu' sebagaimana hadits berikut :
عن أنس رضي الله عنه قال كان أصحاب رسول الله ينامون ثم يصلون ولا يتوضؤن - رواه مسلم - وزاد أبو داود : حتى تخ�?ق رؤسهم وكان ذلك على عهد رسول الله
Dari Anas ra berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim) - Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.
3. Hilang Akal Karena Mabuk Atau Sakit
Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk, maka wudhu' nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri, juga batal wudhu'nya. Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan, dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu, wudhu'nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu'nya.
4. Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
من مس ذكره �?ليتوضأ - رواه أحمد والترمذي
Dari bisrah binti Shafwan Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad)
Al-Bukhari mengomentari hadits ini sebagai hadits yang paling shahih dalam masalah ini. Dan Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih berdasarkan syarat dari Bukhari dan Muslim.
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri atau pun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup atau pun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan, dimana hal itu tidak membatalkan wudhu'.
5. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram (mazhab As-Syafi'iyah)
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu'. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian. Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa : 23)
a. Pendapat Yang Membatalkan
Sebagian ulama mengartikan kata MENYENTUH sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu`. Ulama kalangan As-Syafi`iyah cenderung mengartikan kata MENYENTUH secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi`i nampaknya tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu`nya adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu`.
b. Pendapat Yang Tidak Membatalkan
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah, sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti pisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada Aisyah,”Siapakah istri yang dimaksud kecuali anda ?”. Lalu Aisyah tertawa.( HR. Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).