Tuesday, February 12, 2008

Pintu Syirik (2) : Tabarruk yang Salah & Lafadz Syirik

4. Meminta Berkah Kepada Pohon dan Batu
Termasuk syirik yang diperangi Nabi Muhammad saw adalah meminta berkah (tabarruk) kepada pepohonan, bebatuan, kuburan dan semacamnya, dengan keyakinan bahwa ia mempunyai suatu rahasia atau keberkahan khusus, yang akan dirath oleh orang yang mengusap dan mengelusnya, atau ber-thawaf di sekeliling- nya, atau menziarahinya, atau duduk di sekitarnya.



Jika terus dilakukan, perbuatan ini akan menggirmg kepada syirik besar, sebab berhala-berhala besar bangsa Arab ada yang berupa batu besar; seperti al-Lata, atau pohon; seperti Uzza, atau batu; seperti: Manah.
Karena itu Rasulullah saw memperingatkannya.
“Dan Abi Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah saw menuju Hunain, sedang kami baru saja lepas dan kekafi ran (baru masuk Islam). Ketika itu orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon bidara yang disebut Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon itu. Tatkala kami melewati sebatang pohon bidara, kamipun berkata: “Wahai Rasulullah saw! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka itu mempunyai Dzatu Anwath”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Subhanallah! Itulah sunnah (tradisi orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan bani Israil kepada Musa a.s. (Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan. Musa a.s. menjawab: “Sungguh kamu adalah kaum yang tidak mengerti”) [al-A’raf: 138]. Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelummu“. (HR. at-Tirmidzi, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih)

Zhahir (makna tersurat) hadits ini menjelaskan bahwa para sahabat Rasulullah saw mengingatkan sekedar mengambil berkah dan menggantungkan senjata pada pohon itu, lalu Rasulullah saw melarang mereka dengan keras dalam rangka saddud-dzari’ah (menutup jalan) yang menuju kepada syirik.

Namun sayang, banyak kaum muslimin telah menyimpang dan petunjuk Rasulullah saw, mereka mengikuti jejak-jejak umat sebelumnya, sehingga mereka membuat Anshab untuk meminta berkah, mengusap dan mengelus-elusnya, berdo’a di sisinya, ber-tawassul dengannya, bergantung kepadanya sebagaimana bergantungnya orang-orang musyrik dengan patung- patung mereka. Alangkah banyaknya Dzatu Anwath- Dzatu Anwath di negeri Islam, padahal Rasulullah saw telah melarangnya.

Anshab berasal dari kata nashab; yaitu: sesuatu yang ditegakkan atau didirikan atau diadakan untuk disembah selain Allah
Merupakan kewajiban kaum muslimin secara umum, umara’ dan ulama’ secara khusus untuk meng- hilangkan kemunkaran mi, menghancurkan Anshab dan menghilangkannya, baik yang berupa pohon, batang, kuburan, kayu, mata air, batu ataupun lainnya, sebagai upaya ber-qudwah kepada Rasulullah saw saat mengutus Au bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar menghancurkan kuburan yang ditinggikan dan meratakanya dengan permukaan bumi, sebagaimana tersebut dalam Shahih Muslim, dan. Abul Hayyaj al-Asadi, ia berkata: “Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku:
“Tidakkah aku mengutusmu seperti Rasulullah saw mengutusku: “Janganlah kamu meninggalkan patung kecuali menghancurkannya dan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan “. (HR. Muslim)

Imam Abu Bakar at-Tharthusi al-Maliki berkata:
“Ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mendengar bahwa orañg-orang mendatangi pohon tempat para sahabat berbai’at kepada Rasulullah saw (bai’atur-ridhwan), dan mereka shalat di situ, maka Umar mengirimkan orang untuk menebangnya, agar kaum muslimin terhindar dan fitnah�?.

Jika Umar melakukan perbuatan seperti itu terhadap pohon yang namanya disebut di dalam al-Qur’an, dan para sahabat membai’at Rasulullah saw di bawahnya, lalu apa yang akan ia lakukan terhadap pohon-pohon lain yang dijadikan sebagai Anshab dan berhala yang menjadi fitnah dan bencana besar dewasa ini.

Imam at-Tharthusi berkata: “Lihatlah —semoga Allah merahmati kamu- jika kamu menemukan pohon bidara atau lainnya menjadi tujuan manusia, mereka mengagungkannya, mengharapkan keselamatan dan kesembuhan darinya, mereka menancapkan padanya paku-paku dan membuat lubang-lubang, maka ia adalah Dzatu Anwath. Karenanya, hendaklah kamu menebangnya.

Dan Mubarrir bin Suwaid, ia berkata: “Saya shalat subuh bersama Umar ra. dalam perjalanan menuju Makkah, dia membaca surat al-Fiil dan Quraisy. Seusai shalat, melihat orang-orang pergi ke beberapa arah. Umar bertanya: “Mereka pergi kemana?. Ada yang menjawab: “Wahai Amirul mukmin, ke masjid tempat Rasulullah saw pernah shalat disitu, dan mereka hendak shalat disitu “. Umar berkata: “Umat sebelum kamu hancur karena seperti ini, mereka menapaktilasi bekas-bekas nabi mereka, dan menjadikannya sebagai gereja dan kuil, barangsiapa tiba waktu shalat di masjid itu hendaklah ia shalat, barangsiapa tidak (harus melakukannya) maka hendaklah ia berlalu dan jangan sengaja shalat disitu".

Menurut ad-Dautsari, hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Said bin Manshur. (lihat an-Nahjus-Sadid, hal:115 - 116).
Inilah sebagian dari fiqih dan semangat Umar —radhiyaliahu ‘anhu- dalam menjaga aqidah masyarakat awam, juga kekhawatirannya dan ghuluw dan penyimpangan.

5. Kata-kata Yang Mengesankan Syirik
Termasuk hal-hal yang diperingatkan Nabi Muhammad saw adalah kata-kata yang mengesankan syirik dan su’ul adab (“kurang ajar) terhadap Allah. Peringatan ini dalam rangka menjaga tauhid.

Hal yang termasuk dalam kategori ini antara lain:

A. Perkataan :
- Maasyaa Allahu wa syaa'a fulan (apa yang dike- hendaki Allah dan yang dikehendaki fulan), atau
- bismillahi wa bismil amir /ismisy sya'b. (dengan nama Allah dan nama amir/penguasa, atau dengan nama rakyat).
Telah disebutkan dimuka bahwa Rasulullah mengingkari perkataan seperti itu.
Apakah engkau menjadikanku dan Allah sebanding? Akan tetapi katakanlah: Masya-Allah wahdahu (kehendak Allah semata)”. (HR. Ahmad).
Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Jan ganlah kamu berkata: “Apa yang dikehendaki Allah dan apa yang dikehendaki fulan�?, akan tetapi katakanlah: “Apa yang dikehendaki Allah, lalu yang dikehendaki fulan". (HR. Abu Daud dengan sanad shahih, juga diriwayatkan Ahmad)

B. Perkataan: ,
- Laulallah wa fulan (kalau saja bukan karena kehendak Allah dan fulan), atau
- i'tamadtu 'alallah wa 'alaika (saya berpegangan kepada Allah dan kepadamu atau perkataan-perkataan yang serupa.
Saat menafsirkan firman Allah:
Karena itu, janganlah kamu men gadakan sekutu- seku tu bagi Allah (QS Al-Baqarah : 22)

Saat menafsirkan ayat di atas Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu— berkata: “Andad adalah syirik, ia lebih lembut daripada gerak kaki semut di atas batu licin hitam pada kegelapan malam, yaitu: seperti perkataan: Allah dan kehidupanmu —wahai si fulan— dan demi kehidupanku","jika bukan karena anjing dia, pastilah disatroni maling","atas kehendak Allah dan kehendakmu", "kalau bukan karena si dia dan si fulan ... ", ini semua adalah syirik. (Riwayat Ibnu Abi Hatim).

C. Memberi nama dengan nama Allah atau dengan nama yang tidak layak kecuali hanya untuk-Nya.
Abu Daud meriwayatkan dan Abu Syuraih, bahwasanya dia dahulu digelari Abul Hakam, lalu Nabi Muhammad saw bersabda kepadanya:
”Sesungguhnya Allah-lah al-Hakam (Pemberi Keputusan) dan kepada-Nya-lah segala keputusan.”. (HR. Abu Daud, juga an-Nasa’i)
Setelah itu ia dipanggil dengan nama anaknya, Syuraih, sehingga panggilannya menjadi Abu Syuraih.

Sabda Rasulullah saw yang lain:
Dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah saw bersabda: “Nama yang paling rendah dan hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama (bergelar) raja diraja ... tidak ada Raja selain Allah. Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Seperti juga Syahin Syah, menurut bangsa ‘Ajam, sebab artinya adalah: raja diraja. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ahmad)

Dalam riwayat lain disebutkan:
Orang yang paling membuat murka Allah pada hari kiamat, dan orang yang paling buruk... “.

D. Menamai manusia dengan nama Abd (hamba) selain Allah
Seperti Abdul Ka’bah, Abdun-Nabi, Abdul Husain, Abdul Masih dan semacamnya. Ibnu Hazm telah menukil bahwa telah terjadi ijma’ atas haramnya nama-nama mi, kecuali Abdul Muththalib.

E. Mencela masa (zaman) saat ada kesulitan hidup atau musibah
Sebab mencelanya termasuk mengadukan Allah atau membenci-Nya, karena Dia-lah Yang Mengatur segala urusan, Mempergilirkan siang dan malam, Dia-lah Yang Berbuat segala sesuatu di alam semesta.

Karena itu dalam sebuah hadits shahih Rasulullah saw bersabda:
“Allah berfirman: “Anak Adam menyakiti-Ku, ia mencela masa, padahal Aku-lah masa, di Tangan-Ku segala urusan, Aku pergilirkan siang dan malam.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad, Malik dan ad-Darimi)


Read More......

Pintu Syirik (1) : Ghuluw pada Nabi, Shalihin & Kubur

Benarkah berlebihan mengagungkan Nabi termasuk pintu Syirik ?!?!


Islam datang dengan membawa ajaran tauhid murni, memerangi berbagai bentuk syirik, besar ataupun kecil, memberikan peringatan darinya dengan sangat keras, dan mempergunakan berbagai cara.Yang paing menonjol adalah menutup pintu-pmtu berhembusnya angin kemusyrikan.
Diantara pintu-pintu itu adalah:

1. Ghuluw (berlebihan) dalam Mengagungkan Nabi SAW
Nabi Muhammad saw melarang kita untuk ghuluw (berlebihan) dalam mengagungkan menyanjungnya, beliau bersabda:
"Janganlah kalian melebih-lebihkan aku, sebagaimana umat Nasrani mëlebih-lebihkan Isa bin Maryam, aku tidak lebih adalah hamba-Nya, maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya”. (Muttafaqun ‘alaih)

Al-Qur’anul karim, saat menyanjungnya dalam maqom (kedudukan) yang paling mulia, Allah mensifatinya dengan Abdullah (hamba Allah), sebagai pengukuhan terhadap makna ini, sebagaimana firman-Nya:
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya”. (QS. Al-Kahfi: 1)
Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba- Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra’ : 1)

Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan. (QS An-Najm: 10)
Rasulullah saw jika melihat atau mendengar sesuatu yang mengarah kepada ghuluw (berlebihan) pada diri beliau, tidak segan-segan melarang orang yang mengucapkan atau melakukannya, serta mengingatkannya kepada sikap yang benar.
Sebagaimana dalam hadits:

Dan Abdillah bin asy-Syikhkhir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya datang bersama rombongan bani ‘Amir kepada Rasulullah saw, lalu kami berkata: “Engkau adalah sayyid (tuan) kami. Lalu beliau bersabda: “As- Sayyid adalah Allah tabaraka wata’ala”. (HR. Abu Daud)

Dan Anas bin Malik, bahwasanya ada seseorang berkata kepada nabi Muhammad saw: “Wahai sayyid kami, anak sayyid kami, yang terbaik diantara kami, dan anak orang yang terbaik diantara kami. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Wahai manusia, katakan dengan perkataan kalian (sewajarnya), dan janganlah syetan memperdayakanmu, saya adalah Muhammad bin Abdullah, dan Rasul Allah, demi Allah, aku tidak suka kalian meninggikanku melebihi kedudukan yang Allah berikan kepadaku “. (HR. Ahmad dan an- Nasa’i di kitab Amalil Yaumi Wal-Lailah)

Pada waktu Rasulullah saw mendengar seseorang berkata: Masya-Allah wa syi’ta (Atas kehendak Allah dan kehendakmu), beliau bersabda:
Apakah karnu menjadikanku dan Allah sebanding? Akan tetapi katakanlah: Masya-Allah wahdahu (kehendak Allah semata. (HR. Ahmad)

2. Ghuluw (berlebihan) dalam Mengagungkan Orang Salih
Termasuk yang dilarang dan diperingatkan Islam adalah ghuluw kepada orang-orang shalih. Ada satu kaum ghuluw terhadap nabi Isa as, sampai-sampai menjadikannya sebagai anak Allah atau salah satu oknum dalam trinitas, bahkan sebagian lagi mengatakan: “Allah adalah Isa bin Maryam.

Kaum yang lain ghuluw terhadap pendeta dan rahib, lalu menjadikannya sebagai ‘tuhan-tuhan’ selain Allah.
Karena itu, Allah memperingatkan ghuluw ahli kitab ini dan mengecam perbuatan mereka. Allah berfirman:
"Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas (ghuluw) dalam agamamu, dan Janganlah kami mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” (An-Nisa’ : 171)
Katakanlah: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (ghuluw) dengan cara tidak benar, dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad saw) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dan jalan yang lurus “. (QS. Al-Maidah : 77)

Syirik yang pertama kali terjadi di bumi adalah syirik kaum nabi Nuh ‘alaihis-salam, penyebabnya adalah ghuluw terhadap orang-orang shalih.

Tersebut dalam Shahih Bukhari, dan Ibnu Abbas ra, dalam menceriterakan tentang ‘tuhan-tuhan’ musyrikin Makkah, tuhan-tuhan yang bernama: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.

Kata Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhuma:
Ini semua adalah nama orang-orang shalih dan kaum nabi Nuh ‘alaihis-salam. Setelah mereka meninggal, setan menyuruh kepada mereka: “Dirikanlah pada majlis-majlis mereka patung-patung, dan bernama patung-patung itu dengan nama merekà. Maka mereka melakukan saran setan itu, dan patung-patung itu tidak disembah. Tetapi setelah generasi mereka meninggal, dan ilmu terlupakan, patung-patung itu pun disembah”. (HR. Bukhari)

Sebagian salaf berkata: “Setelah orang-orang saleh itu mati, mereka menggantungkan sesuatu pada kuburannya, lalu membuat patungnya. Beberapa waktu kemudian, merekapun menyembahnya ”

Dan sini kita mengetahui bahwa ghuluw sebagian kaum muslimin kepada orang yang mereka yakini sebagai saleh dan wali, khususnya mereka yang memiliki cungkup dan menjadi tujuan ziarah mengarah kepada berbagai macam syirik, seperti bernadzar, menyembelih, meminta pertolongan (istighatsah), dan bersumpah dengan nama mereka Bahkan ghuluw mëreka bisa menyebabkan syirik akbar yaitu meyakini bahwa mereka memiliki kekuasaan dan pengaruh di alam wujud ini, memiliki kemampuan di balik hukum kausalitas dan sunnah kauniyyah, sehingga mereka diseru (disembah) selain Allah atau bersama Allah. ini adalah dosa besar dan kesesatan yang jauh.

3. Mengagungkan Kuburan
Termasuk yang diperingatkan Islam dengan sangat keras adalah mengagungkan kuburan, khususnya kuburan para nabi dan orang-orang saleh. Karena itu Islam melarang beberapa hal yang mengarah kepada pengagungan kuburan, yaitu:

a. Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, lima hari sebelum meninggal, bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan nabi dan orang saleh sebagai masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang yang demikian “. (HR. Muslim)

Dan dan ‘Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, keduanya berkata: “Saat Rasulullah saw dalam sakaratul maut, terus menerus beliau menutupkan selimut ke mukanya, jika gerah, dibuka, lalu bersabda -dalam kondisi seperti itu- : “Semoga laknat Allah tetap untuk Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan kubu ran nabi mereka sebagai masjid.”.(Muttafaqun ‘alaih)

b. Shalat Menghadap Kuburan
Rasulullah saw bersabda:
Dan Abi Mirtsid al-ghunawi, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan Jan gan shalat menghadap kepadanya�?. (HR. Muslim)
Maksudnya, jangan menjadikan kuburan berada pada posisi kiblat.

c. Memberi Penerangan dan Lampu di Kuburan
Rasulullah saw bersabda:
“Allah melaknat para wanita menziarahi kuburan, dan orang-orang yang menjadikan diatas kuburan masjid dan penerangan (lampu) “. (HR. Ahmad, at-Tirmidz dan lainnya)

d. Membangun dan Mengecat Kuburan
Imam Muslim meriwayatkan dan Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata: Rasulullah saw melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atasnya dan membangun di atasnya”. (HR. Muslim)

e. Menulisi Kuburan
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah saw melarang mengapur (mengecat) kubu ran, menulisinya, membangun diatasnya dan menginjaknya”. (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

f. Meninggikan Kuburan
Dan Ali bin Abi Thalib rodhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah saw mengutus dan memerintahkannya untuk tidak membiarkan patung kecuali menghancurkannya, dan kuburan tinggi kecuali meratakannya”. (HR. Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad)
Di dalam Sunan Abi Daud dijelaskan bahwa Rasulullah saw melarang menambah kuburan dengan bebatuan, batu bata dan semacamnya selain tanah aslinya. Karena itu Salaf yang shalih tidak menyukai penambahan batu bata pada kuburannya.

g. Menjadikan Kuburan Sebagai Perayaanaan
Abu Daud meriwayatkan secara marfu’ dan Abu Hurairah:
Rasulullah saw bersãbda: Janganlah engkau jadikan rumah kalian sebagai kuburan, dan Janganlah engkau menjadikan kuburanku sebagai ‘led (perayaan), dan ucapkanlah shalawat untukku, sebab shalawat kalian akan sampai kepadaku dan tempat kalian berada”. (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Abu Ya’la meriwayatkan dan ‘Ali bin Husain, bahwasanya ia melihat seorang lelaki mendatangi sebuah celah di dekat kuburan Nabi saw, ia memasukinya dan berdo’a, maka Ali bin Husain melarangnya seraya berkata, tidakkah aku ceritakan kepadamu apa yang diceritakan bapakku dan kakekku, dan Rasulullah saw, beliau bersabda:
Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai 'Ied dan rumah kalian sebagai kuburan, sebab ucapan salam kalian sampai kepadaku dari tempat kalian berada".
Maksud 'menjadikan kuburan sebagai 'Ied' adalah: rnenjadikannya sebagai tempat berkumpul, duduk-duduk di sekelilingnya dan semacarnnya.

Kuburan Rasulullah saw adalah kuburan yang paling utarna di atas muka bumi. Jika beliau melarang kuburannya sebagai ‘led, maka kubur lainnya lebih dilarang lagi, siapapun dia.

Mengucapkan shalawat dan salam kepada RasuIullah saw sudah mencukupi, sebab shalawat dan salam itu akan sampai kepada beliau, dan manapun datangnya.

Read More......

Syirik Kecil (4) : Menyembelih dan thiyarah

Penasaran?!?!
dibaca dunk! :-)


10. Menyembelih Untuk Selain Allah
Termasuk syirik adalah menyajikan qurban dalam menyembelth untuk selain Allah. Telah menjadi kebiasaan dan tradisi kaum musyrikin pada semua bangsa untuk menyajikan sembelihan kepada ‘tuhan’ dan berhala mereka, lalu Islam membatalkan dan mengharamkan tradisi tersebut.

Allah berfirman:
“Dan (daging) yang disembelih atas narna selain Allah”. (QS. Al-Maidah: 3)
Maksudnya, binatang yang disembelih dengan nama selain Allah, seperti berhala dan semacamnya.

Termasuk dalam hal ini juga adalah:
“Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala”. (QS. Al-Maidah : 3)
Maksud nushub adalah apa saja yang ditegakkan, seperti batu, pohon, atau berhala, untuk disembah, atau diagungkan, atau dimintai berkah.

Ayat tiga (3) dan surat al-Maidah ini memerintahkan agar menyembelih untuk Allah semata. Karena itu, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menjadikan shalat dan sembelihannya untuk Allah:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”. (QS. Al-Kautsar : 2)
Dan agar supaya mengumumkan kepada kaum musyrikin bahwa petunjuk-Nya dalam shalat dan berkurban berbeda dengan yang mereka miliki: “Ka takanlah: “Sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku “. (al-An’am 162-163)
Yang dimaksud nusuk pada ayat di atas adalah menyembelih dengan tujuan taqarrub (mendekatkan diri).

Tersebut dalam hadits:
“Dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah saw menyampaikan empat kalimat (ajaran) kepadaku: “Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih bukan untuk Allah, Allah melaknat orang yang melindungi penjahat (kriminal) dan Allah melaknat orang yang mengubah batas-batas (tanda- tanda) tanah”. (HR. Muslim, juga an-Nasa’i dan Ahmad)

“Dan Thariq bin Syihab: Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Seseorang masuk surga karena lalat, dan seseorang masuk neraka karena lalat”, — maksudnya disebabkan oleh lalat— . Para sahabat berkata: “Bagaimana itu terjadi wahai Rasulullah saw? Beliau menjawab: “Ada dua orang melewati satu kaum yang memiliki berhala, tidak seorangpun boleh melewati mereka sehingga menyajikan sesuatu sebagai kurban. Mereka berkata kepada salah seorang dan keduanya: “Sajikan kurban !!. Ia menjawab: “Saya tidak mempunyai sesuatu “. Mereka herkata: “Sajikan kurban meski pun seekor lalat..!!.
Setelah ia menyajikan lalat, mereka mengijinkannya berlalu, kemudian diapun masuk neraka. Mereka berkata kepada yang lainnya, “Sajikan kurban!! Ia menjawab: “Aku tidak akan menyajikan sesuatu pun kepada selain Allah” Lalu mereka memenggal lehernya (membunuhnya), kernudian, ia pun masuk surga” (HR. Ahmad)

Hadits diatas menjelaskan bahwa Nabi saw meyanjung orang mukmin tersebut dan mengabarkan bahwa ia masuk surga, sebab ia bersabar menghadapi pembunuhan dan tidak mau menyajikan apapun untuk selain Allah, sebab ia mengutamakan prinsip sebelum yang lainnya. Barangsiapa menyajikan lalat untuk selain Allah, bisa saja setelah itu, ia akan menyajikan unta.

Sebagai bagian dan keseriusan Islam untuk menjaga tauhid dan menjauhi syirik, ia melarang agar tidak dilakukan penyembelihan untuk Allah di tempat penyembelihan untuk selain Allah, sebagaimana dalam hadits Tsabit bin ad-Dhahhak yang telah disebutkan di muka tentang seseorang yang bernadzar hendak menyembelih unta di Buwanah.

11. Thiyarah (Berperasaan Sial Karena Melihat, Mendengar atau Bertemu Sesuatu)
Thiyarah termasuk syirik; yaitu: Adanya rasa pesimis (sial atau tidak beruntung) yang disebabkan oleh suara yang didengar, atau sesuatu yang dilihat atau semacamnya. Jika hal itu menjadikan seseorang menarik din dan hajat yang telah ia kukuhkan, seperti bepergian, menikah, berbisnis, dan semacamnya, maka ia telah masuk ke dalam syirik, sebab:
• Ia tidak ikhlas (murni) dalam ber-tawakkal kepada Allah.
• Berpaling kepada selain Allah dan memberikan tempat untuk tathayyur pada dirinya.

Rasulullah bersabda:
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda; “Barangsiapa mengurungkan hajatnya karena thiyarah (merasa sial dengan sesuatu), berarti telah syirik”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah saw, apa kaffarat (pelebur dan penebusnya)? Beliau bersabda: “Hendaklah salah seorang dan mereka berkata: “Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tidak ada kesialan, kecuali dan-Mu, tidak ada Tuhan selain diri-Mu “, (HR. Ahmad)

Adapun sesuatu yang membuat seseorang was-was atau takut mendapatkan keburukan dan sesuatu, hal ini tidak mempengaruhi dan tidak membahayakar (keimanan), jika ia tetap melakukannya dengan bertawakkal kepada Allah, dan tidak mengurungkan tujuannya karena tathayyur (merasa sial dengan sesuatu).

Rasulullah saw bersabda:
Thiyarah adalah syirik, Thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dari kita kecuali (merasakannya). hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Maksud “Tiada seorangpun dari kita kecuali ..“ adalah: Tidak seorangpun dari kita kecuali di dalam hatinya ada sesuatu darinya, karena kelemahan manusiawi. Hanya saja, seorang mukmin mempunyai kelebihan, yaitu bahwa Allah menghilangkan lintasan-lintasan itu dari hatinya disebabkan oleh tawakkal-nya kepada Allah.

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya”. . (QS. At-Thalaq: 3)

Lawan dan thiyarah adalah tafa’ul, yakni optimis, harapan baik. Maksudnya memprediksikan kebaikan berdasarkan apa yang ia dengar atau sesuatu yang ia lihat atau semacamnya.

Rasulullah mencintai tafa’ul yang baik. Tersebut dalam hadits:
Dan aku menyukai al-fa’l. Para sahabat bertanya: “Apa itu al-fa’l ? Beliau menjawab: “Kata-kata yang baik’. (Muttafaqun ‘alaih)

Contoh tafa-ul : Ada seseorang sakit, lalu mendengar orang lam berkata: “Wahai orang yang sehat, lalu ia bertafa-ul (berharap) sehat ... ini adalah sesuatu yang baik, sebab, mengajak kepada terbentangnya harapan dan husnudz-dzan kepada Allah. Berbeda dengan thiyarah (merasa sial dengan sesuatu), sebab di dalamnya mengandung su`udz-dzan kepada Allah, dan memprediksikan bencana tanpa adanya sebab yang mengarah kepadanya.

Read More......

Syirik Kecil (3) : Tiwalah, Ramalan, Nadzar

Ayo teruskan bacanya..!
Semangat..!



7. Tiwalah: Sihir dan Syirik
Termasuk sihir juga apa yang sudah dikenal oleh tukang sihir sejak lama, yaitu: menuliskan huruf dan kalimat tertentu, atau mengalungkan sesuatu dan semacamnya, dengan klaim menjadikan wanita (istri) mencintai laki-laki (suami), atau lelaki (suami) mencintai istri. (Di Indonesia dikenal dengan istilah pelet).
Telah disebutkan di muka, bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah, dan Tiwalah adalah syirik” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

8. Perdukunan dan Ramalan
Perbuatan yang sama dengan tanjim adalah kahanah dan ‘arrafah, pelakunya disebut kahin dan ‘arraf.

Kahin adalah orang yang menginformasikan tentang hal-hal gaib di masa mendatang, atau yang menginformasikan tentang sesuatu yang ada pada hati manusia.
‘Arraf adalah nama yang mencakup kahin, munajjim (pelaku tanjim), rammal (peramal) dan yang semacam mereka dan setiap orang yang mengklaim mengetahui hal-hal gaib, baik tentang masa mendatang atau yang ada pada hati manusia, baik dengan cara berhubungan dengan jin, atau melihat (mengamati), atau dengan menggaris-garis di pasir atau membaca alas gelas minum atau dengan cara lainnya.

Rasulullah saw bersabda:
“Siapa yang mendatangi ‘Arraf lalu ia menanyakan sesuatu dan membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari”. (HR. Muslim dan Ahmad)
“Barangsiapa mendatangi Kahin (dukun), lalu membenarkan apa yang diucapkannya, niscaya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw” (HR. Abu Daud, at-Tirmidz Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)
Sebab, diantara (ajaran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah bahwa hal-hal yang gaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah.
Allah berfirman:
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang men getahui perkara yang gaib, kecuali Allah”. (An-Nami 65)

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya selain Dia sendiri”. (QS. AI-An’am : 59)

“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya”.(QS. Jin : 26 - 27)

Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri tidak mengetahui hal-hal gaib kecuali yang diberitahukan Allah kepadanya melalui wahyu, karenanya Allah berfirman kepadanya:
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah, dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman “. (QS. Al-A’raf : 188)

Begitu juga jin, yang oleh para tukang sihir dan dukun dimintai pertolongan, mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hal-hal gaib. Al-Qur’an menceritakan bahwa jin-jin Nabi Sulaiman ‘alaihissalam tidak mengetahui kematian beliau.
“Maka tatkala ia (Sulaiman ‘alaihissalam) tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib, tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan”. (Saba’ : 14).

Karena itu, membenarkan para dukun dan peramal -yang mengaku mengetahui hal yang gaib- adalah pengingkaran (kufur) terhadap ayat-ayat yang telah diturunkan Allah.
Jika mendatangi dan membenarkan mereka demikian buruk kedudukannya dalam agama, maka bagaimana dengan para dukun dan peramalnya sendiri? Mereka telah melepaskan diri dan agama dan agama berlepas diri dan mereka, sebagaimana dalam hadits:
“Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan tathayyur atau minta di-tathayyur, atau menjadi dukun atau minta dibuatkan perdukunan untuknya, atau menyihir atau minta disihirkan untuknya”. (HR. Al Bazzar dengan isnad jayyid)

Tathayyur berfirasat buruk, merasa bernasib sial, atau meramal bernasib buruk karena melihat burung, binatang atau apa saja.

9. Bernadzar Untuk Selain Allah
Termasuk syirik adalah bernadzar untuk selain Allah, seperti untuk kuburan atau penghuninya, sebab

Nadzar adalah ibadah dan qurbah (upaya pendekatan diri kepada Allah), sedangkan ibadah tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah.
Allah berfirman:
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah men geta- huinya. Orang-orang yang berbuat zhalim tidak ada seorang penolongpun baginya�?. (al-Baqarah : 270)

Yang dimaksud dengan azh-zhalimin pada ayat di atas adalah al-musyrikun (orang-orang yang menyekutukan Allah), sebab syirik adalah kezhaliman besar (Luqman: 13), dan barangsiapa memaksudkan ibadahnya untuk selain Allah berarti ia telah berbuat syirik.

Sebagian ulama’ berkata:
“Nadzar yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat awam —sebagaimana yang kita saksikan— seperti saat ada orang yang hilang, atau sakit atau ada keperluan, lalu ia mendatangi kuburan orang salih dan berkata: “wahai tuanku, fulan ... jika Allah mengembalikan orang yang hilang, atau si sakit sembuh, atau hajatku terpenuhi, maka untukmu emas sejumlah sekian, atau makanan sedemikian rupa, atau lilin dan minyak sekian”,

Nadzar seperti ini hukumnya bathil berdasarkan ijma’, berdasarkan pada beberapa alasan berikut:
• Ini adalah nadzar untuk makhluk, sedangkan nadzar untuk makhluk tidak boleh, sebab ia adalah ibadah, dan ibadah tidak boleh untuk makhluk.
• Yang dituju dengan nadzar adalah mayit, sedangkan mayit tidak memiliki kemampuan apa-apa.
• Orang yang bernadzar mengira bahwa mayit bisa berbuat sesuatu tanpa Allah, dan meyakini yang demikian adalah kufur.

Selanjutnya ulama’ itu berkata:
“Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka apa saja yang diambil berupa uang, minyak dan lain-lain dan dipindahkan ke cungkup para wali, dengan maksud ber-taqarrub kepadanya adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin.

Jika nadzar seperti ini haram, maka tidak harus dipenuhi, bahkan tidak boleh dipenuhi, karena tiga alasan:
• Tidak sesuai dengan perintah Nabi saw, sedangkan beliau telah bersabda:
“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada perintahku, maka amalan itu tidak diterima (ditolak) “. (HR. Muslim)
• Ia adalah nadzar untuk selain Allah, berarti ia adalah syirik, dan syirik tidak memiliki kehormatan (penghargaan), ia seperti bersumpah dengan selain Allah, sehingga tidak harus dipenuhi, tidak ada kaffarat, dan tidak ada istighfar, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa bersumpah, dan dalam sumpahnya ia berkata: ‘Demi Latta, demi ‘Uzza’, maka ucapkanlah: “La Ilaha Illallah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjelaskan bahwa kaffarat syirik adalah memperbaharui tauhid, bukan memberi makanan, bukan pula berpuasa.
• Ia adalah nadzar ma’siat. Sunnah Rasulullah saw telah menjelaskan bahwa semua nadzar yang mengandung ma’siat atau syirik tidak harus dipenuhi, bahkan tidak boleh dilakukan. Sebagaimana tersebut dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
Rasulullah saw bersabda,"Barangsiapa bernadzar untuk taat kepada Allah maka laksanakanlah ketaatannya itu dan barangsiapa bernadzar hendak bermaksiat kepada-Nya maka jangan lakukan kemaksiatan itu”. (HR. Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)

Menurut ad-Dautsari, hadits ini shahih. (lihat an-Nahjus-Sadid, hal: 73).
Dan Tsabit bin ad-Dhahhak, ia berkata: “Ada seseorang bernadzar pada zaman Rasulullah saw untuk menyembelih unta di Buwanah (nama tempat), lalu ia mendatangi Rasulullah saw, ia berkata,"Saya telah bernadzar untuk menyembelih unta di Buwanah". Rasulullah saw bersabda,"Apakah di sana pernah ada berhala jahiliyyah yang disembah?. Para sahabat menjawab,"Tidak". Rasulullah saw bersabda,"Apakah disana ada hari raya mereka?". Para sahabat menjawab,"Tidak". Rasulullah saw bersabda,"Penuhilah nadzarrnu, karena tidak ada pemenuhan nadzar dalam maksiat kepada Allah dan dalam hal-hal yang manusia tidak mampu”. (HR. Abu Daud)


Read More......

Syirik Kecil (2) : Ruqyah, Sihir, Tanjim

Lanjutkan Bacanya ya..!


4. Ruqyah (Mantera atau Jampi)
Termasuk sesuatu yang bertentangan dengan tauhid adalah ruqyah (mantera atau jampi), yaitu: kalimat-kalimat atau gumaman-gumaman tertentu yang biasa dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah dengan keyakinan bisa menangkal bahaya, dengan meminta bantuan jin. Atau dengan cara menyebut-nyebut nama-nama asing dan kata-kata yang tidak dapat difahami.

Sewaktu Islam datang, tradisi seperti itu dibatalkan, sebagaimana dalam hadits:
“Dan Abdullah bin Mas’ud ra berkata,"Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,"“Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah, dan Tiwalah adalah syirik”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah).

Menurut ad-Dautsari hadits ini hasan. (Lihat an-Nahjus-Sadid, hal: 59). Sedangkan yang dimaksud dengan tiwalah adalah sesuatu yang dibuat atau dibikin dengan anggapan hal tersebut menjadikan suami atau istri mencintai pasangannya. Dalam istilah yang akrab di telinga kita maksudnya adalah guna-guna atau pelet.
Dalam sebuah atsar diceritakan :
“Bahwasanya pada suatu han, Abdulah bin Mas’ud ra, melihat pada leher istrinya ada kalung (bermantera), lalu ia bertanya: “Apa ini? Istrinya menjawab: “Kalung yang terpakai untuk memanterai saya dan demam... “. Lalu Ibnu Mas’ud mencabut, memutus dan membuangnya seraya berkata: “Pagi ini keluarga Abdullah terbebas dan syirik, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah, dan Tiwalah adalah syirik”. Istri-nya berkata: “Tadinya mataku mengalirkan air, dan aku mendatangi seorang yang beragama Yahudi untuk mengobatinya dengan mantera, jika ia mengobatinya dengan mantra, mataku tidak mengalirkan air.. Abdullah berkata: “Itu tidak lain adalah perbuatan setan, ia menusuk matamu dengan tangannya, jika engkau mengobatinya dengan mantra, ia tidak menusuknya, cukuplah bagimu mengucapkan seperti yang diucapkan Rasulullah saw: “Hilangkan penyakit ini wahai Tuhan manusia, sembuhkan ia, Engkau adalah Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”.(HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Mantera atau Jampi yang Haram dan yang Boleh
- Jampi Yang Haram
Mantera atau jampi yang haram adalah yang di dalamnya terdapat permohonan bantuan kepada selain Allah, atau dengan selain bahasa Arab. Mantera yang demikian bisa menyebabkan kafir atau ucapan yang mengandung syirik.

- Jampi Yang Boleh
Mantera atau jampi selain dan yang disebutkan diatas, boleh dipergunakan.
Sebagaimana dalam hadits:
“Dan ‘Auf bin Malik al-Asyja’i, ia berkata,"Pada masa jahiliyyah, kami menjampi, lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah saw, bagaimana pandangan engkau tentang hal itu?. Lalu beliau bersabda: “Tunjukkan kepadaku jampi-jampi kalian, tidak apa-apa selama tidak mengandung syirik”. (HR. Muslim dan Abu Daud)

Imam Suyuthi berkata: “Para ulama’ telah bersepakat bahwa ruqyah diperbolehkan, jika memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Menggunakan al-Qur’an, atau nama-nama dan sifat-sifat Allah.
b. Dengan bahasa Arab dan dapat difahami maknanya
c. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak mempunyai pengaruh dengan sendirinya, akan tetapi karena takdir Allah.

Tiwalah (guna-guna) yang tersebut dalam hadits Ahmad dan lainnya adalah semacam sihir, agar suami mencintai istrinya atau sebaliknya.

5. Sihir
Termasuk syirik adalah sihir, yaitu semacam cara pengelabuhan dan penipuan, diantaranya ada yang menggunakan azimat, mantera, simpul-simpul tali dan tiupan-tiupan mulut.

Ia dikategorikan syirik karena di dalamnya terdapat permohorian bantuan kepada selain Allah, baik dan jin, setan, planet dan lain-lain.
Tersebut dalam hadits: “Dan Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membuat suatu buhulan (simpulan tali), lalu meniup padanya (sebagaimana yang dilakaukan tukang sihir), maka dia telah melakukan sihir, dan barangsiapa yang melakukan sihir, ia telah syirik, dan barangsiapa menggantungkan suatu benda (jimat), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung pada benda itu". (HR. an-Nasa’i)
Dalam Islam, sihir termasuk dosa besar, begitu juga dalam agama-agama samawi lainnya. Tersebut dalam al-Qur’an kalimat Nabi Musa ‘alaihissalam berikut:
“Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dan mana saja ia datang”. (QS. Thaha : 69)

“Musa berkata: “A pa yang kamu lakukan itu, itulah yang sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidak benarannya”. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang orang yang membuat kerusakan”. (Yunus : 81)
Rasulullah saw memasukkan sihir dalam kelompok tujuh dosa besar yang menghancurkan, dan menempatkannya pada urutan kedua setelah syirik.

Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar meminta perlindungan kepada Allah dan kejahatan sihir dan orang-orangnya.
“Dari dan kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul” (QS. Al-Falaq : 4)

Banyak dan para imam salaf berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir, dan perbuatannya (menyihir) adalah kufur. Pendapat ini diikuti diantaranya oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumuflah.

Menurut informasi yang datang dan beberapa sahabat, hukuman bagi tukang sihir adalah dipancung dengan pedang. Tersebut dalam hadits sebagai berikut:
“Dan Bajalah bin Abdah, ia berkata: “Limar bin a!- Khaththab menginstruksikan secara tertulis kepada kami: “Bunuhlah setiap tukang sihir..!! Lalu dalam sehari, kami membunuh tiga tukang sihir.”. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Pendapat yang membolehkan membunuh tukang sihir, secara shahih datang dan Hafshah LImmul Mukminin dan dan Jundub bin Abdillah dan kalangan para sahabat radhiyallahu‘anhu.

Sebagian dan mereka membedakan: jika dalam sihirnya meminta pertolongan dengan cara kufur, maka ia kafir, jika tidak, maka fasiq.
Sebagaimana sihir diharamkan, maka orang yang membenarkannya dan mendatangi mereka untuk melakukan sihir, adalah menjadi sekutu mereka dalam dosa.
Rasulullah saw bersabda:
“Tiga orang tidak akan masuk surga: pecandu khamar, yang membenarkan sihir, dan pemutus silaturrahim “. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya)

6. Tanjim (Ramalan Perbintangan)
Termasuk dalam kategori sihir apa yang dikenal dengan nama tanjim; yaitu: pengakuan (klaim) mengetahui masa depan, baik secara umum atau khusus dengan perantaraan bintang (astrologi). Perbuatan ini termasuk sihir dan daji (kebohongan besar).

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa mengutip ilmu (pengetahuan) dan bintang, ia telah mengutip satu cabang dan sihir, ia bertambah sesuai dengan tambahan yang dikutip”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Hadits ini tidak ditujukan kepada orang yang mempelajari jarak bintang, posisi, ukuran besar, daerah edarnya dan semacamnya, yang bisa diketahui dengan pengamatan, teleskop dan semacamnya, yang dikenal dengan ilmu falak (astronomi). Sebab, ilmu ini memiliki dasar, kaidah dan sarananya.

Akan tetapi hadits ini ditujukan kepada orang yang mempelajari aspek perbintangan yang bisa menghantarkan kepada kekufuran, seperti mengklaim mengetahui alam gaib. ini termasuk sihir dan syirik, sebab tidak ada yang mengetahui alam gaib selain Allah.

Read More......

Syirik Kecil (1) : Sumpah, Tanggal, Jimat

Di bawah syirik besar terdapat berbagai bentuk dan macam syirik lain yang disebut syirik ashghar (syirik kecil). Ia termasuk dosa besar, bahkan di sisi Allah lebih besar dan pada dosa besar lainnya ... diantaranya adalah:



1. Bersumpah Dengan Selain Allah
Termasuk syirik kecil adalah bersumpah dengan selain Allah, seperti bersumpah dengan Nabi, Ka’bah yang mulia, wali, pembesar, tanah air, nenek moyang atau makhluk-makhluk lainnya, semua itu adalah syirik.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:
Dan siapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah kafir atau syirik”. (HR. At-Tirmizy)

Hadits dengan lafadz seperti ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan dinilainya sebagai hadits hasan. Hadits ini juga dihukumi sebagai shahih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban dan al-Hakim serta at-Thayalisi.
Ini karena pada sumpah terdapat pengagungan terhadap yang dipergunakan untuk bersumpah, padahal yang seharusnya dikhususkan dengan pengagungan dan pengkultusan hanyalah Allah semata. Karena itu ada larangan bersumpah dengan selain Allah.

Rasulullah saw bersabda:
“Janganlah bersumpah dengan nenek moyang kalian “.(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan ad-Darimi)
Sabda beliau yang lain:

“Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan Allah atau diam”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik dan ad-Darimi)
Ibnu Mas’ud ra berkata,“Sungguh, bersumpah dusta dengan nama Allah lebih aku sukai dari pada bersumpah benar dengan selain Allah”.(HR. Abdurrazzaq dan At-Tabari)
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Abdur-Rozzaq dan at-Thabari.

Termasuk sebuah aksioma agama adalah bahwa bersumpah palsu dengan nama Allah termasuk dosa besar, akan tetapi syirik, meskipun kecil, lebih besar dan pada dosa besar dalam pandangan fuqaha’ sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Orang yang bersumpah dengan selain Allah tidak harus dipenuhi dan tidak ada kaffarat (denda) atasnya, sebab ia adalah syirik, sedangkan syirik itu tidak punya harga. Ia hanya berkewajiban ber-istighfar dan mengucapkan seperti yang diucapkan Rasulullah saw: “Barangsiapa bersumpah, dan dalam sumpahnya ia berkata:
“Demi Latta, demi ‘Uzza’, maka ucapkanlah: “La Ilaha Illallah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjelaskan bahwa kaffarat syirik adalah memperbaharui tauhid, bukan memberi makanan, bukan pula berpuasa.

2. Memakai Gelang dan Benang Penangkal
Tauhid tidak bertolak belakang dengan pemakaian hukum kausalitas yang telah ditetapkan Allah pada alam, seperti makan agar kenyang, minum agar segar, obat untuk terapi, senjata untuk pembelaan dan kausalitas semacamnya yang bisa mengantarkan kepada akibat tertentu.

Jika seseorang sakit, lalu membawa dirinya kepada dokter, kemudian sang dokter memutuskan untuk menggunakan obat tertentu atau operasi, atau tindakan lainnya, lalu ia melaksanakan ketentunan dokter itu, maka hal ini tidak bertentangan dengan tauhid.
Hal yang bertentangan dengan tauhid adalah bertumpu pada sebab-sebab tidak jelas yang tidak disyari’atkan Allah, dengan tujuan untuk menolak bala’ atau membentengi diri darinya.

Diantaranya adalah memakai ‘gelang’ atau ‘kalung’ dan benang (penangkal) yang diikatkan pada lengan.

“Dan Imran bin Hushain, bahwasanya Rasulullah saw melihat pada tangan seseorang sebuah gelang, — saya kira ia berkata : dari tembaga, lalu beliau bersabda: “Celaka kamu, apa ini? “Ia menjawab: “Untuk menjaga diri dari penyakit wahinah. Beliau bersabda: “Ingatlah, ia tidak menambahmu selain kelemahan, buang jauh benda itu darimu, sesungguhnya jika kamu mati dan benda itu masih ada padamu, kamu tidak akan beruntung selamanya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Wahinah nama penyakit yang membuat lengan menjadi lemah.
Rasulullah saw bersikap keras dalam rnengingkari hal ini demi memberikan peringatan dan berbagai bentuk kemusyrikan, dan mengajarkan kepada para sahabat agar menutup pintu ini secara global ataupun rinci.

Karena itu, saat Hudzaifah bin al-Yaman menjenguk seorang yang sakit lalu melihat di tangannya ada gelang atau benang untuk mengusir demam, beliau langsung memutusnya, lalu membaca firman Allah:

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf: 106)

3. Mengalungkan Jimat
Termasuk dalam bab ini adalah mengalungkan tamimah (azimat/jimat), yaitu untaian batu atau semacamnya yang oleh orang Arab terdahulu dikalungkan pada leher, khususnya pada anak-anak, dengan dugaan ia bisa mengusir jin, atau menjadi benteng dan ‘Ain dan semacamnya. 'Ain adalah pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya. Setelah Islam datang tradisi ini dibatalkan. Dan Islam mengajarkan kepada mereka bahwa tidak ada yang bisa menolak dan menghalangi selam Allah.

Rasulullah saw bersabda:
“Dan ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menggantungkan tamimah (jimat), semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa menggantungkan wada ‘ah, semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya” (HR. Ahmad)

Wada'ah adalah benda yang diambil dan laut, menyerupai rumah kerang. Menurut anggapan orang-orang jahiliyyah, dapat digunakan sebagai penangkal penyakit.
“Dalam riwayat lain disebutkan: “Barangsiapa menggantungkan tamimah, ia telah syirik“ (HR. Ahmad)

Maksud “menggantungkan tamimah” adalah mengalungkannya, dan hatinya bergantung kepadanya dalam menggapai kebaikan atau menolak keburukan.
Ia termasuk syirik, karena berisi permohonan penolakan bahaya dan selain Allah. Allah berfirman:
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap- tiap sesuatu”. (QS. AI-’An’am : 17)

Termasuk pengertian tamimah adalah: jami’ah (aji-ajian terbuat dan tulisan), khorz (jimat penangkal terbuat dan benda-benda kecil dan laut atau semacamnya), hijab (jarum tusuk atau semacamnya yang diyakini bisa membentengi din) dan semacamnya, semua itu adalah kemunkaran besar, dan menjadi kewajiban bagi setiap yang mampu untuk melenyapkapmya.

Sa’id bin Jubair berkata: “Siapa yang memutus tamimah, ia seperti memerdekakan seorang budak”

Jimat dan Ayat Al-Qur-an
Jika tamimah (jimat) terdiri dan ayat-ayat al-Qur’an, atau memuat nama-nama dan sifat-siafat Allah, apakah termasuk dalam kategori yang terlarang, atau termasuk yang dikecualikan dan boleh dikalungkan?

Salaf berbeda pendapat dalam hal mi, sebagian dan mereka memperbolehkan, dan sebagian yang lain melarang. Pendapat yang kami pilih adalah melarang segala bentuk tamimah, meskipun terdiri dan ayat-ayat al-Qur’an, karena adanya beberapa dalil:
• Dalil yang melarang bersifat umum, dan hadits- hadits yang membicarakannya tidak memberikan pengecualian.
• Saddudz-Dzari‘ah, sebab dibolehkannya tamimah dan ayat al-Qur’an akan membuka jalan bagi pengalungan tamimah dan selainnya, dan pintu keburukan jika dibuka, sulit untuk ditutup lagi. Saddudz-dzari’ah (langkah prefentif) adalah salah satu dalil dalam syariat Islam, dan salah satu siasah syar’iyyah dalam rangka ‘menutup pintu-pintu yang menuju kepada sesuatu yang diharamkan.
• Dibolehkannya tamimah dan ayat al-Qur’an akan berdampak kepada pelecehan atau penghinaan al-Qur’an, sebab pemakainya bisa membawanya ke tempat-tempat najis atau semacamnya, seperti waktu buang hajat, haid, junub dan sebagainya.
• Dibolehkannya tamimah dan ayat-ayat al-Qur’an akan berdampak kepada pengecilan dan penurunan nilai al-Qur’an dan tujuan diturunkannya, sebab Allah menurunkannya agar menjadi petunjuk manusia kepada sesuatu yang lebth lurus dan untuk mengeluarkan mereka dan berbagai macam kegelapan kepada cahaya (Islam), bukan untuk dijadikan sebagai tamimah dan kalung wanita dan anak-anak.

Read More......

Friday, February 8, 2008

Syirik Besar

Syirik adalah menjadikan sesuatu sebagai sekutu Allah dalam hal-hal yang merupakan hak murni Allah. Seperti menjadikan tuhan atau beberapa tuhan selain Allah yang disembah, ditaati, dimintai pertolongan, dicintai atau lainnya. Semua ini tidak ada yang berhak mendapatkannya selain Allah.


Itulah syirik akbar (besar) yang mengakibatkan tertolaknya amal shalih bahkan amal apa saja, karena syarat pertama diterimanya amal dan dinyatakan shalth adalah harus ikhlas karena Allah semata sebagaimana firman Allah:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. Al-Kahfi: 110)

Syirik adalah dosa yang tidak terampuni. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya (QS. An-Nisa’ : 48 dan 116)
Surga diharamkan bagi orang yang menyekutukan Allah (musyrik), sedangkan neraka adalah tempat kembali dan tempat menetapnya. Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah haramkan kepadanya surga, dan tempatnya di neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim seorang pun penolong”. (al-Maidah: 72)

MACAM-MACAM SYIRIK
Syirik ada dua macam; yaitu:
1. Syirik Akbar (besar).
2. Syirik Ashghar (kecil).

Syirik Akbar yaitu syirik yang tidak diampuni Allah dan tidak menyebabkan pelakunya masuk ke dalam surga selamanya.
Syirik Ashghar termasuk dosa besar, pelaku dan yang terus menerus melakukannya dikhawatirkan mati dalam kondisi kafir, jika tidak segera mendapatkan rahmat Allah untuk bertaubat sebelum meninggal.

SYIRIK AKBAR
Syirik Akbar ada dua macam:
1. Jelas dan Terang (zhahi run jaliyyun).
2. Tersembunyi dan Tersamar (bathinun khafiyyun).

A. Syirik Akbar yang Jelas dan Terang.
- Menyembah Tuhan selain Allah.
Termasuk syirik akbar dan zhahir adalah menyembah satu atau beberapa tuhan disamping menyembah Allah, baik tuhan itu berupa:
1. Benda angkasa; seperti: matahari dan bulan, atau
2. Benda mati; seperti: patung dan batu, atau
3. Binatang; seperti: sapi dan anak sapi, atau
4. Manusia; seperti: orang-orang yang menyembah Fir’ aun dan semacamnya, yaitu: penguasa-penguasa yang mengaku atau diaku sebagai tuhan dan mendapatkan orang-orang yang membenarkannya. Demikian juga orang-orang yang menyembah Budha atau Isa bin Maryam ‘alaihis-salam, atau juga tuhan itu berupa
5. Makhluk gaib; seperti: jin, setan dan malaikat. Tuhan-tuhan mi memiliki para penyembah dan berbagai bangsa.

B. Syirik Akbar yang Tersamar.
1. Berdo’a dan Memohon Pertolongan kepada Orang Mati. Syirik akbar ada juga yang tersamar, tidak jelas bagi kebanyakan manusia.
Termasuk dalam syirik mi adalah: berdo’a kepada orang mati, dan orang-orang yang telah terkubur dan kalangan orang-orang yang memiliki cungkup dan orang-orang yang memiliki maqam, juga meminta pertolongan dan pemenuhan hajat kepada mereka, seperti: penyembuhan orang sakit, kelapangan dan kesulitan, bantuan kepada yang sangat membutuhkan, kemenangan atas musuh, dan hal-hal lain yang tidak memiliki kemampuan atasnya selam Allah. Termasuk juga keyakinan bahwa mereka mampu memberikan manfaat atau menimpakan madharat (bahaya). Syirik seperti ini adalah pangkal dan dasar syirik alam, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Penyebab tidak jelasnya syirik ini adalah manusia tidak menganggap do’a, meminta pertolongan, dan meminta bantuan kepada orang- orang yang telah dikubur sebagai ibadah. Mereka mengira bahwa ibadah hanya terbatas pada ruku’, sujud, shalat, puasa dan semacamnya. Padahal, ruh ibadah -sebagaimana telah kami sebutkan- adalah do’a, sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Do’a adalah ibadah”. (HR. At-Tirmdzi, Ia berkata: ini hadits hasan shahih)
Hadits ini memang shahih, diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak, at-Thayalisi, Ahmad, Bukhari di dalam Adab al-Mufrad, Abu Daud, at- Tirmidzi, an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, Ibnu Hibban, at-Thabrard dalam al-Mu’jam as-Shaghir, Al Hakim dan lainnya. (lihat: an-Nahjus-Sadid fi takhriji Ahaditsi Taisiril ‘Aziz, hal: 83.

Mereka berkata: “Kami tidak meyakini bahwa mayit tempat kami memohon dan meminta bantuan sebagai sembahan atau tuhan, justru kami meyakini bahwa mereka adalah makhluk seperti kita, akan tetapi mereka adalah perantara antara kami dengan Allah dan pemberi syafa’at di sisi-Nya.

Alasan mi muncul karena ketidaktahuan mereka tentang Allah. Mereka mengira Allah seperti raja tiran dan penguasa kejam, tidak mungkin dicapai kecuali lewat perantara dan pemberi syafa’at. Ini persis seperti asumsi yang menjerumuskan orang-orang yang menyekutukan Allah pada zarnan dahulu, saat mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. Az-Zumar : 3)

“Mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (Yunus : 18).

2. Menjadikan selain Allah sebagai Pemilik Hak Membuat Syari’at (Hak Legislatif)
Termasuk syirik akbar yang tersamar bagi sebagian besar manusia adalah menjadikan selain Allah sebagai pemilik hak membuat syari’at (hak legislatzj) atau menjadikan selain Allah sebagai pembuat hukum.
Dengan bahasa lain, pemberian wewenang membuat perundang-undangan secara absolut oleh sebagian manusia kepada individu atau kelompok, baik untuk kepentingan mereka atau orang lain.

Dengan hak itu mereka:
a. Menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengan yang mereka kehendaki.
b. Mereka menetapkan berbagai sistem dan aturan sebagai undang-undang, atau
c. Menetapkan metodologi dan pola pikir, yang:
- Tidak diizinkan Allah.
- Bertolak belakang dengan syari’at-Nya. Lalu, orang lam mengikuti dan mentaati apa yang telah mereka tetapkan sebagai undang-undang, seakan- akan syari’at Tuhan, atau hukum langit yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar.
Yang memiliki hak pensyari’atan (legislatif) terhadap makhluk-Nya hanyalah Allah, sebab Dialah Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Memenuhi mereka dengan berbagai kenikmatan, baik lahir ataupun batin, Sebagai konsekwensinya, Dialah yang memiliki hal untuk membebani, memerintah, malarang, menghalalkan dan menghararnkan atas mereka, karena Dia adalah Rabb (Pencipta), Malik (Raja), dan illah (Tuhan sembahan) manusia. Tidak seorangpun selain Dia yang memiliki Rububiyyah (sifat Mahamenciptakan), Mulkiyyah (sifat Maharnenguasai) dan Llluhiyyah (sifat ketuhanan untuk disembah) sebagaimana yang Dia miliki. Jika demikian halnya, lalu dan mana hak pembuatan syari’at dan hukum itu mereka miliki?

Dunia adalah kerajaan Allah, dan seluruh manusia di alam semesta ini adalah hamba dan rakyat-Nya, Dialah Pemimpin dan Pemerintah (Penguasa) kerajaan ini. Karena itu, adalah menjadi rnilik-Nya hak membuat hukum, undang-undang, mengharamkan dan menghalalkan, dan adalah keharusan bagi rakyat untuk mendengar dan mentaati-Nya.
Jika ada sebagian rakyat mengklaim (mengaku) bahwa ada seseorang dalam kerajaan Allah ini yang memiliki hak memerintah, melarang, menghalalkan, mengharamkan, membuat hukum dan perundang-undangan tanpa izin dan Pemimpin atau Penguasa kerajaan berarti ia telah menjadikan seseorang itu sebagai sekutu Allah dalam kerajaan, melawan-Nya dalam kekuasaan kepemimpinan-Nya dan kekhususan- Nya dalam pemerintahan.

Karena itu al-Qur’an memvonis Ahli Kitab dengan syirik dan menamakan mereka sebagai musyrikin, sebab mereka memberikan hak pembuatan syari’at kepada pendeta dan rahib, lalu mereka mentaati apa yang mereka halalkan atau haramkan. Al-Qur’an mensejajarkan hal ini dengan penyembahan mereka terhadap al-Masih bin Maryam. Allah berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Mahia Suci Allah dan apa yang mereka persekutukan”
(QS. At-Taubah : 31)

Rasulullah saw telah menjelaskan pengertian ayat ini kepada ‘Adiy bin Hatim ath-Tha’i, seorang Nasrani pada zaman jahiliyyah. Setelah memeluk Islam, ia memasuki rumah Rasulullah saw ketika beliau sedang membaca ayat di atas. Mendengar bacaan itu ‘Adiy berkata: “Mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib”
Rasulullah saw bersabda:
“Betul.. Sesungguhnya mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikutinya, itulah penyembahan kepada mereka (HR. at-Tirrnidzi, Ahmad dan Ibnu Jarir)

Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz: 2 hal: 459, saat menafsirkan ayat 31 dan Surat at-Taubah [9]. Para pentakhrij hadits ini berbeda pendapat, Syekh Nashiruddin al-Albani menilainya hasan, sedangkan Abu Sulaiman Jasim al-Fuhaid ad-Dautsari dalam kitab an-Nahjus-Sadid menilainya dha’if dan mengatakan bahwa penisbatan hadits ini kepada Ahmad adalah wahm. Namun ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa Ahbar dan Ruhban dalam agama Nasrani telah dinilai al-Qur’an sebagai Arbab, dan makna hadits mi dikuatkan oleh ayat~ayat al-Qur’an, seperti: al-An’am 61: 121. (Lihat an-Nahjus-Sadid, hal: 53)

Ayat dan tafsirnya dan hadits Rasulullah saw ini menunjukkan bahwa siapa saja yang taat kepada selain Allah dalam bermaksiat atau mengikutinya dalam hal yang tidak diijinkan Allah, berarti telah menjadikannya sebagai Rabb dan Ma’bud (sembahan), serta menjadikannya.sebagai sekutu Allah. Hal demikian ini bertolak belakang dengan tauhid yang tidak lain adalah agama Allah dan inti kalimat ikhlas: La Ilaha Illallah. Sebab, al-Ilah adalah al-ma’bud (tuhan yang berhak disembah), dan Allah telah menamakan ketaatan mereka kepada para pemimpin dan pendeta mereka sebagai penyembahan kepada mereka. Sedangkan para pemimpin dan pendeta itu disebut sebagai Arbab; yakni sekutu-sekutu Allah dalam penyembahan. Ini merupakan syirik akbar, sebab siapa saja yang mentaati makhluk dan mengikutinya di luar yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya, berarti ia telah menjadikannya sebagai rabb dan ma’bud, meskipun tidak dinamai demikian, sebagaimana difirmankan Allah dalam ayat lain:
“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al-An’am: 121)

Ayat lain yang maknanya sama dengan ayat di atas
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ (QS. Syura : 21)
Jika yang demikian mi adalah hukum al-Qur’an dan as-Sunnah terhadap orang yang menjadikan selain Allah sebagai pembuat syari’at dan mengikutinya dalam hal-hal yang tidak diizinkan Allah, maka bagaimana pula dengan orang yang ménjadikan dirinya sebagai sekutu Allah, mengangkat dirinya sebagai pemegang hak membuat hukum (hak legislatif), perundangan (pensyari’atan), penghalalan dan pengharaman yang merupakan hak khusus ketuhanan?

Read More......

Konsep Ibadah : Bentuk dan Jenisnya

Ibadah adalah kata yang mengandung dua arti yang sudah bersenyawa menjadi satu, yaitu: puncak ketundukan dibarengi dengan puncak cinta.


Ketundukan yang sempurna yang sudah bersenyawa dengan cinta yang sempurna itulah ibadah. Cinta tanpa tunduk, dan tunduk tanpa cinta tidak mewujudkan arti ibadah. Begitu juga setengah-setengah tunduk dipadukan dengan setengah-setengah cinta belum merealisasikan ibadah, akan tetapi ibadah memerlukan keutuhan tunduk berbarengan dengan keutuhan cinta.

BENTUK DAN MACAM-MACAM IBADAH
Ibadah tidak terbatas pada satu bentuk, sebagaimana anggapan banyak orang, tetapi ia memiliki beberapa macam dan bentuk:

1. Do’a
Ialah menghadapkan diri kepada Allah untuk memohon sesuatu yang bermanfaat, atau agar terhindar dan bencana, atau agar Dia menghilangkan bala’, atau agar diberi kemenangan atas musuh, dan semacamnya.

Menghadapkan din kepada Allah disertai permohonan yang bangkit dan hati inilah merupakan otak dan ruh ibadah.
Rasulullah saw bersabda:
“Do’ a adalah ibadah “. (HR. at-Tirmidzi; ia berkata: ini hadits hasan shahih)
Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak, at-Thayalisi, Ahmad, Bukhari di dalam Adab al-Mufrad, Abu Daud, at- Tirmidzi, an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, Ibnu Hibban, at-Thabarani dalam al-Mulfam as-Shaghir, al-Hakim dan lainnya. (lthat: an-Nahjus-Sadidfi takhrijiAhaditsi Taisiril ‘Aziz, hal: 83).

2. Menegakkan Syi’ar Agama
Termasuk ibadah adalah menegakkan syi’ar-syi’ar agama, seperti shalat, puasa, shadaqah, haji, nadzar, menyembelih dan semacamnya.
Syi’ar-syi’ar ini tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah.

3. Tunduk dan Patuh kepada Syari’at Allah
Ketundukan dan kepatuhan kepada segala sesuatu yang telah disyari’atkan Allah termasuk ibadah. Demikian pula menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, menerapkan hukum had (pidana; seperti rajam, jilid, potong tangan dan sebagainya), dan menggunakan syari’at itu untuk mengatur kehidupan.

Bagi orang yang beriman kepada Allah sebagai Rabb, tidak boleh mengambil sistem, hukum, nilai dan undang- undang buatan manusia untuk diterapkan dalam kehidupannya tanpa adanya kekuasaan dan Allah, sebab ini semua adalah ibadah.

Read More......

Konsep Tauhid Sesat..!

SESAT..?!?!?!?!?!?!


A. Tauhid Filosof
Para pembela filsafat Aristoteles, dan para pengikut- nya, yang menamakan din ‘Filosof Muslim’, mengatakan:
“Tauhid adalah :
“menetapkan adanya wujud mutlak (absolut) yang terlepas dan dzat dan sifat”.

Bahkan mereka mengatakan: tauhid adalah:
Menetapkan wujud yang sama sekali terlepas dari dzat dan sifat, akan tetapi merupakan wujud mutlak yang tidak berkaitan dengan dzat, tidak bisa diberi sifat dan tidak bisa dikhususkan dengan suatu karakter, namun seluruh sifatnya adalah sulub dan idhafat.
Sulub adalah semua sifat Allah berawalan “tidak”, seperti: tidak jauhar (inti) bukan pula ‘Aradh (sesuatu yang berdiri pada jauhar), ‘tuhan’ itu tidak bidayah (permulaan), tidak pula nihayah (akhir), tidak murakkab (susunan) tidak pula bagian dan murakkab, tidak di dalam alam, tidak pula di luarnya, tidak berhubungan dengan alam, tidak pula berpisah dengannya.

Idhafat adalah sesuatu yang disandarkan kepada Allah, sebagaimana disandarkannya Bait (rumah) kepada nama Allah, sehingga menjadi Baitullah, atau Abdun (hamba) kepada Allah sehingga menjadi Abdullah, tentunya ada perbedaan antara bait, Allah, dan Baitullah, juga ada perbedaan antara abdun, Allah, dan Abdullah.

Dengan konsep seperti ini, tauhid mereka berujung pada:
1. Pengingkaran Dzat Tuhan yang diserukan oleh agama-agama samawi.
2. Pengingkaran Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam.
3. Pengingkaran terhadap ilmu dan pengetahuan Tuhan terhadap segala yang terjadi pada alam.

Mereka berpendapat bahwa:
1. Alam semesta bersifat qodim (tanpa Pencipta).
2. Allah tidak membangkitkan manusia dari alam kubur.
3. Kenabian dapat diperoleh dengan jerih payah manusiawi (bukan murni anugerah Allah), dan ia merupakan sejenis profesi.
4. Allah tidak mengetahui sesuatupun dari alam semesta.
5. Allah tidak mampu mengubah benda-benda alam, dan tidak mampu menembus atau membelahnya.
6. Tidak ada halal, haram, perintah, larangan, surga dan neraka!
Itulah tauhid mereka!

B. Tauhid Wihdatul Wujud
Sudah sampaikah kepadamu berita tentang para penyeru wihdatul wujud?Mereka mengklaim hanya merekalah orang-orang yang bertauhid, selain mereka adalah orang-orang politheis (musyrik)

Tahukah Anda apa tauhid yang mereka klaim?
tauhid mereka adalah al-Haq (Allah) Yang Mahasuci, tidak lain adalah ciptaan-Nya, dan bahwasanya Allah swt tidak lain adalah wujud dan segala sesuatu yang ada, ia juga hakikat-Nya, jati diri-Nya, dan bahwasanya Dia adalah tandiz segala sesuatu, dan pada segala sesuatu itu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa tanda itu tidak lain adalah Dia..

Menurut para tokoh mereka, kalimat diatas adalah ungkapan yang salah (maksudnya kurang pas), sebab menurutnya, Allah itu tidak lain adalah ayat (tanda dalil (bukti), pembukti, dan yang dibuktikan itu sendir Keanekaragaman sesuatu, —yang disebabkan adanya istilah yang berbeda-beda— hanyalah ilusi belaka, bukan pada kenyataan dan hakikatnya.

Tauhid seperti ini, konsekwensinya amatlah lucu dan ghairu ma’qul (tidak masuk akal). Memang, ajaran mereka mengajak seseorang untuk hidup dalam hal-hal yang ghairu-ma’qul, alias gila, edan, dan majnun yang oleh mereka diistilahkan dengan Jadzab, atau Majdz sehingga wajar ada sebagian tokoh mereka yang begitu mendengar ayam jago berkokok, ia berkata sambil bersujud “ya, wahai Tuanku”!.

Dan menurut tauhid ini :
• Yang menikahi dan yang dinikahi, hakikat keduanya adalah satu, yaitu Tuhan.
• Yang menyembelih dan yang disembelih, hakikat keduanya adalah satu, yaitu Tuhan.
• Yang makan dan yang dimakan, hakikat keduanya adalah satu, yaitu Tuhan!
Konsep tauhid seperti ini, menurut mereka adalah sirr (rahasia) yang dirumuskan oleh hembusan hembusan masa-masa terdahulu, dan yang dimaksud oleh petunjuk kenabian!, sebagaimana dikatakan oleh tokoh mereka, Ibnu Sab’in.

C. Tauhid Mu’tazilah
Diantara cabang dan buah tauhid ini adalah:
1. Bahwa Fir’aun, Namrudz, dan yang semisal mereka adalah orang-orang beriman yang sempurna imannya, sebab mereka telah ma’rifat (mengetahui Allah secara hakiki).
2. Para penyembah berhala tidak lain adalah menyembah Allah, bukan menyembah selain-Nya, karena itu mereka berada di atas kebenaran, dan apa yang mereka perbuat adalah benar.
3. Tidak ada perbedaan antara halal dan haram, tidak ada perbedaan antara ibu, saudara perempuan, dan wanita lain yang bukan mahram, tidak ada perbedaan antara air dan khomr (miras), tidak ada perbedaan antara nikah dan zina, semuanya berasal dan satu dzat, bahkan dialah Dzat (Tuhan).9)
4. Para nabi telah mempersempit jalan bagi manusia, dan menjauhkan mereka dan yang dituju, padahal permasalahannya ada dibalik apa yang mereka bawa dan yang mereka da’wahkan.

Ada lagi pengklaim lain yang tidak boleh kita lupakan, yaitu Mu’tazilah, mereka menamakan din sebagai Ahiut-Tauhid Wal ‘Adi (pembela tauhid dan keadilan). Mereka menempatkan tauhid ini sebagai pokok pertama dan lima pokok ajaran mereka.

Apa pengertian tauhid menurut mereka?
tauhid menurut mereka adalah:
1. Mengingkari qadar (ketentuan) Allah.
2. Mengingkari bahwa kehendak (masyi.-ah) Allah bersifat umum dan mencakup seluruh alam semesta.
3. Mengingkari bahwa kekuasaan (qudrah) Allah mencakup seluruh alam semesta.

Misalnya ada seseorang bernama Syaqiy yang menenggak bir (miras), itu artinya: ‘tuhan’ menenggak ‘tuhan’, sebab semuanya adalah satu wujud, menurut pandangan mereka.

Mu’tazilah Mutaakhkhirin (generasi belakangan) menambahkan tauhid diatas dengan ‘tauhid Jahmiyyah’, sehingga pengertian tauhidnya menjadi:
1. Pengingkaran kepada qadar.
2. Pengingkaran Asma-ul Husna (nama-nama Allah yang indah, dan Sifatul ‘Ulya (sifat-sifat Allah yang tinggi).

D. Tauhid Jabriyyah
Kebalikan dan ‘tauhid pincang’ diatas, ada bentuk tauhid lain, yaitu ‘tauhid Jabriyyah’. Inti ajarannya adalah:
1. Hanya Allah sajalah yang menciptakan dan berbuat (melakukan pekerjaan).
2. Para hamba (makhluk), pada hakikatnya, bukanlah yang berbuat (melakukan pekeijaan), bukan pula memunculkan perbuatan, bukan pula yang memiliki kemampuan untuk berbuat.
3. Perbuatan para hamba yang bersifat ikhtiyari (atas kehendak mereka), tidak lebih hanyalah seperti gerakan pohon saat ditiup angin.
4. Allah tidak melakukan perbuatan karena adanya hikmah dan ghayah (tujuan) yang diinginkan.
5. Pada makhluk tidak terdapat kekuatan, watak, insting, dan sebab, akan tetapi semuanya tidak berjalan kecuali karena adanya ‘kehendak murni’ (kehendak Allah), yang menjadikan sesuatu hal lebih kuat daripada hal lainnya, tanpa adanya sesuatu (selain kehendak Allah) yang menjadikan salah satunya lebih berat, juga tidak ada hikmah dan sebab (selain kehendak Allah) sama sekali.

Apakah orang yang memiliki bashirah (ketajaman dan kedalaman pemahaman beragama) tidak mengetahui tauhid orang-orang yang menyesatkan kaum awam itu, dan tauhid orang-orang yang mengklaim sebagai syaikh (maha guru) yang berpakaian dan berpenampilan sebagai tokoh-tokoh yang saleh itu adalah penyesat-penyesat mereka dalam tauhid.

Menurut pandangan Ahiul Bashirah (orang-orang yang memiliki ketajaman dan kedalaman pemahaman agama), mereka sebenarnya menyeru kepada selain Allah, berharap dan takut kepadanya. Sesungguhnya mereka menyeru, berharap dan takut kepada orang- orang yang mengklaim sebagai wali, aqthab, ausath, abdal dan gelar-gelar lainnya.
Semua ini adalah gelar-gelar kewalian dalam tasawwuf Gek paling tinggi disebut al-Quthbu ar-Rabbani atau al-Ghouts as! Shamadani, yang menurut mereka, Allah tidak boleh membuat keputusan, kecuali setelah meminta pendapat mereka, Tingkat kewaliandi bawahnya disebut Quthb, bentuk jamaknya Aqtha lalu Ausath, lalu Abdal.
Mereka ber-thawaf di sekeliling kuburan para ‘wali itu, meminta kepada mereka lebih banyak dari pada permohonarinya kepada Allah, ber-istighatsah (meminta pertolongan) kepada mereka lebth banyak daripada ber istighatsah kepada Allah. Begitu ditimpa musibah, buru buru mereka mendatangi kuburan itu, memohon pemenuhan hajatnya, dan pembebasan mereka dari kesempitan, dengan alasan mereka adalah penghubung Allah. Menurut mereka: “jika tidak ada penghubung hilanglah yang dihubungi!”.

E. Tauhid Nasrani
Jangan kita lupakan pula bentuk tauhid lain, yaitu tauhid Nasrani. Mereka mengklaim bahwa agama mereka adalah agama tauhid, dan bahwasanya mereka tidak keluar dan lingkaran tauhid, meskipun meyakini dan berkata: “Allah swt adalah trinitas, terdiri dan: Bapak, anak, dan Ruh Qudus. Mereka satu keluarga, atau satu perseroan suci, terdiri dari ‘tuhan bapak’, ‘tuhan anak’, dan oknum ketiga adalah ruh qudus.
Jika ditanya, bagaimana kalian bertauhid padahal kalian mengatakan ‘tuhan’ ada tiga? Mereka menjawab: “Tiga dalam satu, dan satu adalah tiga. Tidak ada tempat bagi logika dan akal dalam aqidah”. Motto mereka adalah: “Yakinilah dan tutuplah matamu 1!”.
Melihat banyaknya konsep tauhid ini, perlu adanya penjelasan dan penjernihan pengertian tauhid sebagaimana yang diserukan Islam, bahkan ia adalah kewajiban utama dan paling urgen, sebab diatas dasar tauhid inilah Islam membangun ajaran-ajarannya, sehingga jelaslah kebenaran dan kebatilan.

Read More......

Konsep Tauhid Islam

Banyak orang yang mengaku beragama Islam, sedangkan status tersebut tergantung dg Tauhidnya. Apakah ia bertauhid dg benar? Sedangkan orang kafir jaman dahulu kala jg bertauhid kepada Allah. Oleh karena itu, mari kita telusuri bagaimanakah konsep tauhid islam yang benar...


Tauhid yang diperintahkan Islam ada dua, yaitu
1. I’tiqodi ‘ilmi (keyakinan ilmiyyah).
2. ‘Amali suluki (amal dan perilaku).

Dengan kata lain, dua tauhid yang tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu:
1. Tauhid fil ma’rifah wal itsbat wal i’tiqad (tauhid dalam pengetahuan, penetapan, dan keyakinan).
2. Tauhid fit-thalab wal qashdi wal iradah (tauhid dan mencari atau memohon, tujuan dan kehendak).

Iman seseorang tidak diterima di sisi Allah, selama belum menegakkan tauhid dalam:
1. Ilmu dan keyakinan; dengan beriman bahwa Allah Maha Esa, dalam Dzat, sifat, dan perbuatan- Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan.
2. Tujuan dan perbuatan; dengan mengesakan Allah rnelalui beribadah yang sempurna, ketaatan yang mutlak, merendahkan din kepada, kembali, pasrah dan tawakkal, takut, berharap kepada-Nya dan seterusnya.

Tauhid dengan arti yang pertama, tersurat dan tersirat di dalam surat:
1. Al-Ikhlash [112].
2. Awal surat Au Imran [3].
3. Awal surat Thaha [20].
4. Awal surat Alif Laam Mum Sajdah [32].
5. Awal surat al-Hadid [57].
6. Akhir surat al-Hasyr [59]. Dan lain-lain.

Tauhid dengan arti kedua, tersurat, tersirat dan diserukan oleh:
1. Surat al-Kafirun [109].
2. Beberapa ayat dan surat al-An’am [6].
3. Awal surat al-A’raf [7].
4. Akhir surat al-A’raf [7].
5. Awal surat Yunus [10].
6. Pertengahan surat Yunus [10].
7. Akhir surat Yunus [10].
8. Awal surat az-Zumar [39].
9. Akhir surat az-Zumar [39]. Dan lain-lain.

Bahkan Ibnul Qayyim berkata: “Setiap surat al-Qur’an memuat dua bentuk tauhid ini�?.
Banyak para penulis dahulu dan kini menamakan bentuk tauhid yang pertama dengan tauhid rububiyyah, dan yang kedua dengan tauhid ilahiyyah atau uluhiyyah.

1. Tauhid Rububiyyah
Artinya: Keyakinan bahwa Allah swt adalah Rabb seluruh langit dan bumi, Pencipta siapa dan apa saja yang ada di dalamnya, Pemilik segala perintah dan urusan di alam semesta, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, tidak ada yang menolak ketetapan-Nya, Dia-lah satu-satunya Pencipta segala sesuatu, Pemberi rizki semua yang hidup, Pengatur segala urusan dan penntah, Dia-lah satu-satunya yang Merendahkan dan Meninggikan, Pemberi dan Penghambat, Yang Menimpakan Bahaya danYang Memberi Manfaat, Yang Memuliakan dan Yang Menghinakan, Siapa saja dan apa saja selain Dia tidak memiliki kemampuan memberi manfaat atau menimpakan bahaya, baik untuk diri sendiri atau untuk orang lain, kecuali dengan izin dan kehendak-Nya.

Bentuk tauhid semacam ini tidak ada yang mengingkari selain penganut faham materialis-Atheis yang mengingkari wujud Allah swt, seperti kaum Dahriyyun pada masa lalu dan Komunisme pada masa sekarang.

Termasuk pengikut faham materialis adalah penganut ajaran Dualisme, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa alam memiliki dua tuhan, tuhan cahaya dan tuhan kegelapan.
Adapun umumnya orang-orang yang menyekutu- kan Allah (musyrikin), seperti bangsa Arab, mereka mengakui tauhid ini dan tidak mengingkarinya, sebagaimana diceritakan aI-Qur’an:
“Dan sesungguhnya jika kamu tan yakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan. Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. (QS. Al-Ankabut: 61)

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dan langit, lalu menghidupkan dan air itu bumi sesudah matinya “. Tentu mereka akan menjawab: “Allah “ (QS. Al-Ankabut : 63)

“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah SWT’ Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat? Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar? “. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah. Katakanlah “Maka apakah kamu tidak bertaqwa ? “. Katakanlah “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dan (azab)-Nya, jika kami mengetahui? “. Mereka akan menjawab: “Kepunyai Allah. Katakanlah: “(kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?. (QS. Al-Mukminun: 84- 89)

Itulah jawaban orang-orang yang menyekutukan Allah. Jawaban mi menunjukkan bahwa mereka mengakui Rububiyyah Allah swt terhadap alam semesta, dan mengakui pengaturan-Nya atas urusan alam semesta. Sebagai konsekuensi dan implikasi dan pengakuan terhadap Rububiyyah Allah atas alam semesta, mestinya mereka hanya menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya, akan tetapi mereka mengingkari bentuk lam dan tauhid ini, yaitu tauhid ilahiyyah atau uluhiyyah.

2. Tauhid Uluhiyyah
Artinya: Mengesakan Allah dalam beribadah, tunduk, dan taat secara mutlak. Tidak disembah (diibadati) kecuali Allah swt semata, tidak sesuatu pun di bumi atau di langit disekutukan dengan-Nya.

Tauhid tidak akan terealisir, kecuali dengan menggabungkan tauhid uluhiyyah kepada tauhid rububiyyah. Tauhid rubibiyyah saja tidak cukup, sebab:
1. Bangsa Arab yang musyrik telah mengakui tauhid rububiyyah, meskipun demikian, pengakuan mereka kepada tauhid rububiyyah ini tidak menjadikan mereka masuk Islam, sebab mereka menyekutukan bersama Allah sesuatu yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa, mereka menjadikan bersama Allah tuhan-tuhan lain, mereka mengira bahwa tuhan-tuhan itu mendekatkan mereka kepada Allah, atau memberi syafa’at kepada mereka di sisi-Nya.

"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung
selain Allah (berkata): "Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah
akan memutuskan di antara mereka tentang
apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat
ingkar."

Disebutkan oleh Allah dalam FirmanNya
pada ayat di atas bahwa orang2 kafir
jaman Jahilliyah tidak menyembah patung
berhala, memuja makam, dsb melainkan
hanya untuk mendekatkan diri mereka kpd
Allah SWT.

Coba deh liyat yang ini jg..
Dan mereka menyembah selain daripada
Allah apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak
(pula) kemanfaatan, dan mereka berkata:
"Mereka itu adalah pemberi syafa'at
kepada kami di sisi Allah...."
(Yunus :18)

Dengan demikian tak cukup bagi kita Tauhid Rububiyyah saja, melainkan dengan Tauhid Uluhiyyahlah ke-ISLAM-an kita baru bener2 diakui...

2. Orang Nasrani tidak mengingkari bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi, akan tetapi mereka menyekutukan Isa al-Masih dengan Allah swt mereka menjadikan tuhan lain selain Allah.
Al-Qur’an menilai semua itu sebagai kafir, yang diharamkan masuk surga, dan mereka kekal di neraka
Sejak zaman dahulu, manusia tersesat dan tauhid ini, sehingga mereka menyembah berbagai macam tuhan selain Allah:
1. Kaum Nuh ‘alaihis-salam menyembah: Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.
2. Kaum Ibrahim ‘alaihis-salam menyembah patung.
3. Mesir kuno menyembah anak sapi (‘ijil).
4. Bangsa India menyembah sapi.
5. Bangsa Saba’ menyembah matahari.
6. Ash-Shabiun menyembah bintang dan planet.
7. Majusi menyembah api.
8. Bangsa Arab menyembah berhala dan batu.
9. Nasrani menyembah isa al-Masih dan ibunya (Maryam), mereka juga menyembah para pendeta dan rahib selain Allah.
Semuanya adalah musyrik, sebab mereka tidak mengesakan Allah swt dalam beribadah. Tidak ada sesuatupun selain Allah yang berhak untuk diibadahi. Bila tauhid uluhiyyah pengertiannya adalah tauhidullah dalam beribadah, maka apakah ibadah itu?


Read More......

Syarat-syarat Tauhid kepada Allah Ta'ala

Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).


Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari Muslim)

Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.

Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).

Apalagi masalah ilmu dan pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]
Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف: 86]

Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)

Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).

Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.

Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.

Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR. Muslim)

Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...[الحجرات: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu ... (al-Hujurat: 15)

Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)

Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)

Adapun dalil dari hadits adalah:
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه البخاري)
Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR. Bukhari)

Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)

Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2] وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
[العنكبوت: 3]
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)

Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه البخاري)
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)

Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar: 2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ... [البينة: 5]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)

Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.... [البقرة: 165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (alBaqarah: 165)
dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري)
Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).

Syarat ke delapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang kufur dan syirik.

Maka pimpinan yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)

Dan dalam hadits:
مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).


Read More......

Tauhid, hak Allah Ta'ala atas segenap manusia

Sesungguhnya tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia. Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali untuk bertauhid. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman :


"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (Ad-Dzaariyaat: 56)

Sebagian ulama menafsirkan kalimat: "supaya menyembah-Ku" dengan makna: "supaya mentauhidkan-Ku" (Lihat Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Ibnu `Utsaimin jilid 1 hal. 20)

Jika peribadahan kepada Allah tidak disertai dengan bertauhid maka tidak akan bermanfaat. Amalan mana pun akan tertolak dan batal bila dicampuri oleh syirik. Bahkan bisa menggugurkan seluruh amalan yang lain bila perbuatan syirik yang dilakukan dalam kategori syirik besar. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan". (Al-An`aam:88)

"Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)

Dua ayat ini merupakan peringatan Allah ta`ala kepada para nabi-Nya. Lalu bagaimana dengan yang selain mereka? Tentu setiap amalan yang mereka lakukan adalah sia-sia bila tanpa tauhid dan bersih dari syirik.

Tauhid adalah hak Allah Subhanahu wa Ta`ala sebagai Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya terwujud karena penciptaan Allah Subhanahu wa Ta`ala.

Allah menciptakan seluruhnya dengan hikmah yang sangat besar dan keadilan. Maka layak bagi Allah Subhanahu wa Ta`ala untuk mendapatkan hak peribadahan dari para makhluk-Nya tanpa disekutukan dengan sesuatu apa pun.

Allah telah menciptakan manusia setelah sebelumnya mereka bukan sesuatu yang dapat disebut. Keberadaan mereka di alam ini merupakan kekuasaan Allah yang disertai dengan berbagai curahan nikmat dan karunia-Nya.

Allah telah melimpahkan sekian kenikmatan sejak manusia masih berada di dalam perut ibunya, melewati proses kehidupan di dalam tiga kegelapan.

Pada fase ini tidak ada seorang pun yang bisa menyampaikan makanan serta menjaga kehidupannya melainkan Allah Subhanahu wa Ta`ala. Ibunya sebagai penghubung untuk mendapatkan rezeki dari Allah ta`ala.

Tatkala lahir ke dunia, Allah ta`ala telah mentakdirkan baginya kedua orang tua yang mengasuhnya sampai dewasa dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.

Itu semua adalah rahmat dan keutamaan Allah ta`ala terhadap segenap makhluk yang dikenal dengan nama manusia. Jika seorang anak manusia lepas dari rahmat dan keutamaan Allah walaupun sekejap maka dia akan binasa. Demikian pula jika Allah ta`ala mencegah rahmat dan keutamaan-Nya dari manusia walaupun sedetik, niscaya mereka tidak akan bisa hidup di dunia ini.

Rahmat dan keutamaan Allah yang sedemikian rupa menuntut kita untuk mewujudkan hak Allah yang paling besar yaitu beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta`ala tidak pernah meminta dari kita balasan apa pun kecuali hanya beribadah kepada-Nya semata.

Peribadahan kepada Allah bukanlah sebagai balasan setimpal atas segala limpahan rahmat dan keutamaan Allah bagi kita. Sebab perbandingannya tidak seimbang. Dalam setiap hitungan nafas yang kita hembuskan maka di sana ada sekian rahmat dan keutamaan Allah yang tak terhingga dan ternilai.

Oleh karenanya nilai ibadah yang kita lakukan kepada Allah tenggelam tanpa meninggalkan bilangan di dalam lautan rahmat dan keutamaan-Nya yang tak terkejar oleh hitungan angka. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

"Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa." (Thoha: 132)

Ketika manusia beribadah kepada Allah tanpa berbuat syirik maka kemaslahatannya kembali kepada dirinya sendiri. Allah akan membalas seluruh amal kebaikan manusia dengan kebaikan yang berlipat ganda dan seluruh amal keburukan mereka dengan yang setimpal.

Peribadahan manusia tidaklah akan menguntungkan Allah dan bila mereka tidak beribadah tidak pula akan merugikan-Nya.

Manusia yang sadar tentang kemaslahatan dirinya akan beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Itulah tauhid yang harus dibersihkan dari berbagai noda syirik. Kesyirikan hanya menjanjikan kesengsaraan hidup di alam akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat kembalinya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzolim itu seorang penolong pun." (Al-Maaidah: 72)

Sementara mentauhidkan Allah dalam beribadah menghantarkan kepada keutamaan yang besar di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kedzoliman, bagi mereka keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk." (Al-An`aam: 82)

Kedzoliman yang dimaksud dalam ayat ini ialah kesyirikan sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rosulullah shollallahu `alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas`ud. (HR. Bukhori)

Sebagai penutup kami mengajak kepada segenap kaum muslimin untuk beramai-ramai menyambut keberuntungan ini. Jangan kita lalai sehingga jatuh ke dalam lubang kebinasaan yang mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Allah subhanahu wa taala berfirman:

"Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Az-Zumar: 15)

Wallohu a`lam bish-showaab.


Read More......